Jumat, 01 April 2011

              PURA BUKIT INDRAKILA
             
                Pura Bukit Indrakila terletak di sebuah bukit kecil di desa Dausa kecamatan KIntamani. 4 kilometer  dari Penulisa kearah barat menuju ke Singaraja, atau 10 kilometer dari Kintamani. Secara geografis letak Pura Bukit Indrakila sangatlah indah. Berada di tengah desa Dausa dan dikelilingi pemandangan yang sangat indah. Di sebelah utara terhampar pemandangan pantai buleleng timur dengan panorama bukit-bukit kecil yang indah. Disebelah barat terhampar pemandangan desa Dausa, bukit sinunggal,hingga sejauh mata memandang  panorama bebukitan. Di sebelah selatan terlihat bukit Tambakan sebagai batas pandang, dan dataran rendahnya yang begitu indah serta desa-desa yang mengitarinya. Di sebelah timur terlihat Bukit Penulisan dengan hutannya, desa Sukawana dengan terassering di areal pertaniannya. Pura Bukit Indrakila sendiri terbagi menjadi tiga bagian (tri mandala) bangunan. Pada bagian utama mandala (jeroan ) terdapat sebuah pohon beringin yang cukup angker, yang bersebelahan dengan pohon cempaka seliwah (satu pohon cempaka yang berbunga dua jenis, cempaka putih dan merah), kemudian di bawah rerimbunan pohon-pohon tadi berjejerlah pelinggih-pelinggih membentuk huruf u yang terbalik. Pada jajaran utama terdapat pelinggih padmasana yang mempunyai tiga ruang sebagai pemujaan Hyang Tiga Wisesa. Diujung selatan utama mandala terdapat pelinggih berbentuk stupa tempat pemujaan Siwa Budha. Lingga yoni sebagai simbul kesuburan dan kemakmuran. Pada jajaran sisi kiri terdapat pelinggih-pelinggih yang persis sama dengan pelinggih pada jajaran disisi kanan, sebagai simbul rwabineda. Pada madya mandala (jaba tengah ) terdapat dua buah bangunan balai gong yang disekat-sekat sesuai dengan jumlah anggota benoa ( Pura Bukit Indrakila diempon (gebog satak ) oleh dua desa dinas yaitu Dausa dan Satra yang terdiri dari sembilan desa adat. Desa dinas Dausa terdiri dari tiga desa adat yaitu Dausa, Lateng dan Cenigaan. Sedang desa dinas Satra terdiri dari lima desa adat yaitu Satra, Tanah Gambir, Kembangsari, Sanda ,Batupalah dan Tanah Embut ))pengempon pura tersebut. Kedua bangunan balai gong tersebut dipisahkan oleh ruang lapang yang cukup luas. Pada mandala ketiga (jabaan ) terhampar pemandangan yang mengitari lokasi pura.
               Walau belum ditemukannya fakta yang berhubungan dengan pembangunan pura tersebut, namun menurut Dr R Goris dalam bukunya Sejarah Bali Kuno diperkirakan Pura Bukit Indrakila dibangun pada abad ke 11, pada saat pemerintahan raja Jaya Sakti (1133-1150),dengan tujuan sebagai tempat untuk bermeditasi/bertapa para raja. Prasasti  Bukit Humintang (prasasti Bukit Indrakila, sekarang disimpan di Pura Balai Agung Cenigaan )yang bertahunkan caka 938 ( 1016 masehi ) menyatakan masyarakat Arcanigayan ( sekarang Cenigaan ) meminta raja mereka Anak Wungsu untuk menghadiri upacara peringatan yang akan diadakan oleh Betari Mandul ( istri terakhir raja anak wungsu ) di Bukit Humintang ( nama awal Bukit Indrakila ). Betari Mandul sendiri adalah anak dari raja Tegeh Kauripan di Penulisan. Bukti lain yang berhubungan dengan pembangunan Pura Bukit Indrakila adalah lontar Catur Dharma Kalawasan (di Pura Penulisan ) yang menyatakan penduduk desa Dausa dan pendukung mereka “belajar” bahwa para leluhur mereka sejak abad ke 11 telah dibebaskan dari menyumbang untuk Pura Pucak Penulisan berdasarkan tugas-tugas mereka yang ada menuju “Pura Hyang Api”( Pura Bukit Indrakila ). Menurut sejarah perkembangannya sebelum bernama Pura Bukit Indrakila, pernah memiliki nama Pura Hyang Api, juga Pura Bukit Humintang. Kontruksi bangunan Pura Bukit Indrakila sejak pertama kali dibangun sudah beberapakali mengalami perbaikan. Juga belum ada bukti yang jelas menerangkan hubungan antara perubahan-perubahan nama yang dilakukan dengan perbaikan-perbaikannya. Setelah perbaikan yang dilakukan sebelumnya, pada tahun 1963 Pura Bukit Indrakila mengalami perbaikan akibat kerusakan yang diakibatkan oleh letusan gunung Agung. Setelah perbaikan tersebut bangunan rusak lagi yang kemudian diperbaiki lagi pada tahun 1963. Pada tahun tujuh puluhan kembali mengalami perbaikan.
               Perayaan pemujaan ( pujawali ) dilaksanakan pada bulan purnama bulan keempat ( sasihkapat)setiaptahunnya. Pada saat pujawali, prasasti di desa Satra dan di desa Cenigaan diturunkan (ditedunkan), demikian juga Ida Betara dari masing-masing desa adat (pekraman ).Pemujaan dihadiri oleh ribuan umat dari Sembilan desa adat.

PURA PARA PEMIMPIN

               Tujuan dibangunnya Pura Bukit Indrakila yang pada awalnya bernama Bukit Humintang adalah atas kehendak raja sebagai tempat para raja bermeditasi ( bertapa/melakukan yoga semadi ) dalam konteknya sebagai pemimpin untuk mencari ketetapan hati. Kedudukan seorang pemimpin atau raja amatlah berat  dalam hal tanggung jawab memimpin negara atau kerajaan untuk menjaga stabilitas dan kemakmuran masyarakat.  Seorang pemimpin haruslah kuat, tegas  dan memiliki ketetapan hati didalam mengambil keputusan. Untuk itu seorang pemimpin haruslah senantiasa mawas diri dan mempunyai pandangan jauh kedepan dalam hal kebijakan dan keputusan. Berikut ini adalah kutipan yajur  veda IX.22
               Iyam te rad yantasi yamano dhruvo-asi.
               Dharunah. Kryai tva. Ksemaya tva.
               Rayyai tva. Posaya tva.
               Artinya
               Wahai para pemimpin menjadikan pengawas kehidupan di negaramu.                
               Engkau mawas dirilah. Teguhkanlah hatimu. Dukunglah  kehidupan Warga                       negaramu. Kami mendekat padamu, demi kemajuan kehidupan pertanian,
               Demi kesejahteraan masyarakat dengan kemakmuran yang melimpah
Inilah alasan dibangunnya Pura Bukit Indrakila. Pada saat itu raja menginginkan untuk selalu melakukan meditasi (tapa ) agar memiliki kecemerlangan pikiran, kemampuan mawas diri dan kekuatan hati didalam menyelenggarakan pemerintahan. Raja tak ingin hatinya goyah oleh godaan –godaan duniawi  yang nantinya bisa menenggelamkan dirinya sendiri kedalam lembah nista dihadapan masyarakatnya. Kedudukan sebagai pemimpin begitu banyak berhadapan dengan gangguan-gangguan, tantangan, dan hambatan dalam tugasnya sehari-hari. Apalagi seorang pemimpin mempunyai kekuasaan yang penuh akan segala hal, keputusan yang tepat mutlak diperlukan. Dalam kontek kepemimpinan, ada bukti yang mengarah keterlibatan Pura Bukit Indrakila di dalam Bhisama Pande yang dipesankan oleh Mpu Siwa Saguna melalui dialog imajiner kepada Brahmana Dwala di Pura Bukit Indrakila. Secara singkat isi dari bhisama tersebut adalah sebagai berikut :
a, Bhisama I
     Menjelaskan agar warga Pande senantiasa ingat menyungsung Pura
     Besakih dan Pura Penataran Besakih, bila ini dilanggar maka akan
     Kekurangan pangan walau sukses dalam berusaha ( sugih gawe
     Kirang pangan )
b, Bhisama II
     Menjelaskan supaya warga Pande memahami ajaran Panca Bayu (
     ajaran kekuatan bagi yang melakoni dharma kepandean ), yang
     meliputi :
                      - Apana       : kekuatan dari perut
                      - Prana        : kekuatan paru-paru
                       - Samana   : kekuatan hati
                       - Udhana    : kekuatan Siwadwara
                       - Bhyana     : kekuatan gaib, yang member kekuatan pada
                                              Kaki,tangan dan jari.
c, Bhisama III
     Menjelaskan jika ingin menjadi pemimpin yang baik, hindarilah  
     Asta Candhala yaitu :
                     1, Minum minuman keras
                      2, Menjadi Bandar judi
                      3, Membunuh binatang dan menjual daging mentah
                      4, Membuat periuk atau membuat barang dari tanah
                      5, Menjadi tukang tumbuk padi
                      6, Makan makanan sisa orang lain
                      7, Makan laron/dedalu
                      8, Makan ikan gabus/jeleg
d, Bhisama IV
     Merupakan larangan untuk menggunakan tirta dari sulinggih lain.
     Ini bukanlah niat untuk melecehkan atau merendahkan  sulinggih
     Yang lain, namun menyangkut beberapa prinsip yang mesti                                     
     Dipahami warga Pande. Warga Pande sangat menghargai dan
     Menghormati setiap sulinggih warga manapun. Semua ini
     Dikarenakan leluhur warga Pande mediksa widhi karma (memohon)
     Panugrahan langsung dari Ida Betara. Juga bagi warga Pande
     Penggunaan Sira Empu sudah berlangsung jauh sebelum
     Kedatangan Danghyang Nirartha ke Bali. Jadi warga Pande sudah
     memiliki sulinggih sendiri sebelum kedatangan Danghyang Nirartha 
     ke Bali. Selain itu sulinggih Pande memiliki mantra-mantra khusus
     yang tidak dimiliki sulinggih lain,Khususnya yang berkaitan dengan
     ajaran Panca Bayu. Begitu juga masalah kajang kawitan, warga
     Pande, hanya bisa dipahami oleh sulinggih Pande. Juga masalah
     pediksaan, warga Pande memiliki tata cara yang berbeda dengan
     warga lain, karena warga Pande melakukannya dengan cara Widhi
     Krama.
e, Bhisama V
     Menjelaskan tentang pesemetonan warga Pande. Mpu Brahma
     Wisesa (dari India )yang turun ke Jawa adalah leluhur para warga
     Pande, juga yang berada di Bali. Dijelaskan pula tali persaudaraan
     warga Pande hanya sampai tingkat II (misan). Sejauh-jauhnya
     sekalipun tidak ada istilah mindon, tidak ada yang rendah dan tidak
     ada yang tinggi. Begitu penting tali persaodaraan dan persatuan
     antar warga Pande walau tinggal berjauhan atau cerai berai.
               Bukti nyata yang bisa terlihat adalah adanya pelinggih padmasana yang mempunyai tiga ruang di jajaran utama, yang merupakan tempat pemujaan kepada Sang Hyang Tiga Wisesa atau Sang Hyang  Tri Purusa sebagai jiwa di Tri Loka (tiga dunia). Pemujaan Sang Hyang Tiga Wisesa bertujuan untuk membangun kekuatan spiritual didalam menjalani kehidupan di Bhur loka agar tidak melakukan hal-hal yang bisa mengganggu keseimbangan di Bwah loka dan di Swah loka. Sang Hyang Tiga Wisesa adalah wujud kemaha kuasaan Tuhan berada dimana-mana. Di Bhur loka disebut dengan Betara Siwa, di Bhuwah loka disebut dengan Betara Sada Siwa, dan di Swah loka disebut dengan Betara Parama siwa. Kekuasaan seperti ini yang dibutuhkan oleh para pemimpin, yang mestinya memiliki kekuasaan mutlak terhadap suatu negara. Menjaga keseimbangan antara kehidupan manusia, hewan dan tumbuhan. Menjaga keseimbangan pikiran antara kecerdasan,kebijakan dan reflek. Bagaimana seseorang yang bodoh, arogan dan lamban bisa menjadi seorang pemimpin sebuah negara.
               Bertalian dengan kepemimpinan, sepertinya cerita Arjuna wiwaha menginspirasi dibangunnya Pura Bukit Indrakila sebagai tempat pertapaan para raja-raja. Berdiri di sebuah bukit kecil di desa Dausa sebagai replika dari gunung Indrakila tempat kesatrya Arjuna bertapa untuk mendapatkan senjata sebagai persiapan didalam menghadapi perang Baratha Yudha. Diceritakan dalam tapa Arjuna membunuh penggodanya yang berupa babi hutan (lambang ketamakan), dimana panah Arjuna menancap pada tubuh babi tersebut,ternyana panah dari kesatrya lain (Batara Indra yang menyamar)juga menancap pada satu titik. Ini adalah simbul dari tercapainya puncak tapa Arjuna,yaitu menyatunya spiritual Arjuna dengan yang maha kuasa. Sehingga di dalam peperangan Barata yudha Arjuna dengan begitu mudahnya dapat mengalahkan musuh-musuhnya. Inti dari cerita inlah yang menjadi incaran para raja, sehingga menjadi suatu keharusan untuk melakukan introspeksi diri di dalam meditasi (tapa). Kendatipun arsitektur dan kontruksi bangunan Pura Bukit Indrakila tergolong sederhana dibandingkan dengan bangunan pura-pura lain yang memiliki arsitektur seni yang tinggi, namun tak mengurangi makna untuk mengingatkan para pemimpin agar selalu mawasdiri dan melakukan meditasi, mencari jati diri serta membangun kekuatan spiritual agar bisa melakukan fungsi sebagai pemimpin bangsa.
         
        
BERBURU MENJANGAN

               Pada perayaan pemujaan (pujawali) yang dilakukan di Pura Bukit Indrakila ada sebuah acara (dudonan yadnya) berburu menjangan. Entahlah pada jaman dahulu, kegiatan berburu binatang tersebut dilakukan dengan menggunakan panah atau senjata lain, belum ada fakta yang bisa mendukungnya. Namun pada perayaan beberapa tahun lewat ini, kegiatan tersebut dilakukan dengan menggunakan jaring. Seperti bagaimana pemburu binatang menjangan pada jaman modern ini melakukannya. Kegiatan perburuan dilakukan oleh segenap warga laki-laki pengempon (gebog satak) pura. Semakin banyak semakin baik. Perburuan di lakukan di hutan lindung seputaran Penulisan. Binatang hasil buruan yang didapatkan nantinya akan dipergunakan sebagai sesaji persembahan . Menurut keterangan para manggala upacara atau tetua, binatang menjangan yang dipersembahkan haruslah hasil dari kegiatan berburu.Artinya sedapat mungkin diusahakan agar bukan binatang menjangan yang didapat dari hasil membeli!
               Bila kita telaah secara logika,kegiatan berburu binatang dan hasilnya kita persembahkan mengandung makna spiritual yang mendalam yang nantinya menuntun kita pada kegiatan meditasi (yoga semadi/tapa). Mirip seperti yang dilakukan Lubdaka dalam cerita Siwaratri. Bedanya kalau didalam cerita Lubdaka, diceritakan bahwa Lubdaka yang gemar memburu binatang dikejar oleh seekor harimau, kemudian naik  ke sebatang pohon. Dari atas pohon tersebutlah Lubdaka melihat sebuah danau yang sangat bening dan memantulkan bayangan bulan sehingga jagat raya menjadi terang benderang. Sedangkan didalam dudonan yadnya Pura Bukit Indrakila, binatang menjangannya diburu kemudian hasilnya dipersembahkan kepada yang maha kuasa. Kedua kegiatan dalam dua versi tersebut mengandung makna yang sama yaitu melenyapkan nafsu-nafsu binatang guna menunggalkan pikiran dengan Yang kuasa sehingga tercapaila Kebahagiaan spiritual yang luar biasa. Didalam kehidupan spiritual beragama,persembahan yang paling mulia dan paling tinggi nilainya adalah persembahan cinta kasih,rasa yang damai,iklas tanpa beban. Kesemua itu hanya bisa tercapai bila semua nafsu,ego,ikatan dapat dimusnahkan.Binatang adalah simbul daripada nafsu,dimana secara umum memiliki sifat yang buas,serakah dan lain sebagainya. Sifat-sifat seperti itulah yang harus kita buru untuk dimusnahkan. Bila hasil perburuan sudah didapat dan semua sifat kebinatangan sudah musnah,maka yang tersisa di dalam belantara hati kita hanyalah cinta kasih,damai penuh rasa percaya diri, itulah yang disebut Siwa (disamping mengandung falsafah sifat,arti dari kata Civa adalah cinta kasih,damai,penuh pengharapan).Itulah yang kita persembahkan pada alam,pada dunia di triloka.Hanya orang seperti inilah yang bisa memimpin dunia dengan benar.Karena dia telah memenangkan peperangan atas musuh-musuhnya lebih awal dari perang yang sebenarnya,dia telah memiliki rasa cinta tanpa pamrih kepada orang lain,pada masyarakatnya juga kepada dunianya. Dia juga sudah mempunyai rasa percaya diri yang mantap untuk memutuskan pertimbangan-pertimbangan.
               Mengapa menjangan ? yang hanya makan rumput,bukankah harimau simbul yang lebih pas untuk menggambarkan sifat buas seperti dalam cerita Lubdaka ? Pertanyaan seperti ini sangatlah masuk akal. Jawabannya mungkin banyak sekali. Namun ada beberapa uraian yang bisa menjelaskan secara singkat.Diceritakan pada saat Mpu Kuturan masuk ke pulau Bali dengan menunggangi menjangan,sehingga sampai sekarang simbul yang pas dipergunakan untuk menghormati beliau adalah dengan menaruh replica kepala menjangan pada pelinggih menjangan seluang. Cerita ini mengandung makna bahwa beliau memasuki pulau Bali dengan misi yang suci. Walau beliau seorang raja, namun semua nafsu yang identik kearah itu sudah tidak ada.Beliau datang dengan penuh cinta kasih dan rasa percaya diri yang mantap untuk mengemban amalan Dharma.Bagaimanapun dinamika dan gejolak yang terjadi di pulau Bali,belum ada cerita yang menyebutkan bahwa beliau mengatasinya dengan kekerasan. Beliau hanya berusaha mengatasi dengan ajaran ajaran suci serta mengadakan perubahan-perubahan dalam sector ritual.Dan ternyata itu pula yang mampu meredam dan mengubah sebagian besar gejolak-gejolak yang ada hingga sekarang. Sifat buas seperti binatang tidak selalu harus digambarkan menyeramkan seperti harimau. Itu namanya sifat yang sudah gampang dideteksi keberadaannya. Bila ternyata muncul sifat seperti itu lebih mudah untuk mengatasinya.Lebih daripada itu, bagaimana kalau ternyata sifat buas seperti binatang tersebut terlihat samar atau tidak terdeteksi keberadaannya karena yang terlihat adalah keindahan dan lemah gemulainya gerak daripada sifat tersebut.Tentu lebih sulit untuk mengatasinya! Seperti seekor menjangan, postur tubuhnya begitu indah diantara binatang,tanduknya sangat mempesona,juga geraknya gemulai seperti penari,namun tetap juga tidak bisa diberi pengertian yang lebih dari pada itu (seindah-indahnya seekor menjangan tetap saja binatang).Yang tidak mempunyai pengertian seperti layaknya manusia,yang akan berperang dengan saling tanduk dengan sesamanya bila areal makannya diganggu,yang akan marah bila wilayah tutorialnya dimasuki,dan sebagainya.Sebagai contoh gambaran pada manusia adalah sebagai berikut, ada seseorang yang mempunyai sifat yang sangat buas terhadap uang(maaf,hanya sekedar contoh belaka).Tampilan dari orang tersebut yang dapat dilihat adalah,dia kaya tidak kekurangan apapun,orang lain akan mudah meminjam bila keperluan,selalu menyumbangkan sebagian kecil kekayaannya untuk hal-hal social, sama saja dengan orang-orang kaya lainnya.Yang menjadi pertanyan selanjutnya,bagaimana cara dia memperoleh dari setiap uang yang dia miliki? Kalau ternyata diperoleh dengan mengakibatkan penderitaan disana-sini,kalau ternyata diperoleh dengan merugikan orang yang lainnya, maka dapat disamakan orang tersebut dengan menjangan.Bukankah ini penggambaran yang lebih mendalam dari menggunakan simbul harimau.Didalam epos Ramayana,Laksmana juga ditipu oleh seekor menjangan.Tentu saja masih ada alasan alasan yang lain.Disamping harimau susah didapat yang mengandung resiko tinggi untuk menangkapnya,tentu saja alasan ekonomis.

3 komentar:

  1. makasi gan,, sangat membantu :)

    BalasHapus
  2. Informasi yang sangat membantu untuk masyarakat yang memerlukan tirta yatra ke pura bukit indrakila

    BalasHapus
  3. Kami warga pande dari seraya dukuh lateng mungkinkah dukuh lateng ini yg di maksud bahwa warga pande dukuh lateng datang dari desa lateng desa dinas dause

    BalasHapus